Share n Care EK Pekan Ketiga

Dua hari Minggu beruntun (6/7 dan 13/7) sebuah agenda inspiratif dihelat di Museum Fatahillah, DKI Jakarta. Bukan sekedar agenda biasa karena yang diulas merupakan topik yang cukup menghangatkan rongga-rongga potensi Bangsa Indonesia, yaitu ekonomi kreatif. Acara ini bertajuk Share n Care Ekonomi Kreatif Indonesia. Kebetulan memang kosakata satu ini dalam beberapa waktu belakangan kerap diujar-ujarkan oleh berbagai kalangan. Apa sebenarnya ekonomi kreatif itu?

Untuk definisi, saya ambil sebagai berikut:

  • “Era baru ekonomi setelah ekonomi pertanian, ekonomi industri, dan ekonomi informasi, yang mengintensifkan informasi dan kreativitas dengan mengandalkan ide dan pengetahuan dari sumber daya manusia sebagai faktor produksi utama dalam kegiatan ekonominya.” (Cetak Biru Pengembangan Ekonomi Kreatif Nasional 2009-2015 Ekonomi Kreatif, 2008)
  • “An evolving concept  based on creative assets potentially generating economic growth and development.” (United Nations Conference on Trade and Development, 2010)

Dengan demikian ekonomi kreatif tentunya bukan barang baru di negara ini walaupun istilahnya sendiri baru heboh saat-saat ini. Sebagai informasi, kesadaran tentang potensi ekonomi kreatif sendiri baru muncul di akhir dekade 2000-an dimana pada 2011 dibentuk Kementerian Pariwisata dan Ekonomi Kreatif. Pergerakan Kemenparekraf sendiri mengacu kepada Buku Studi Ekonomi Kreatif Indonesia yang dirilis pada tahun 2009. Kondisi saat ini jauh lebih dinamis dimana arus informasi menjadi ekonomi kreatif kian dikenal, tak hanya karyanya, namun juga pelakunya, bahkan lebih luas lagi kondisi ekosistemnya sangat dinamis. Sebagai gambaran, proses pemasaran karya musik yang masih mengandalkan pita kaset tentu sudah terancam punah, begitu pula platform software pada teknologi informasi menjadikan media menggapai konsumen tentu berubah cara.

Musik dan teknologi inofrmasi merupakan 2 dari 15 subsektor ekonomi kreatif yang menjadi ruang lingkup ekonomi kreatif. Ketiga belas lainnya adalah arsitektur; desain; film, video, dan fotografi; desain; mode; penerbitan dan percetakan; seni rupa; seni pertunjukan; kuliner; riset dan pengembangan; periklanan; televisi dan radio; permainan interaktif; serta kerajinan. Saat ruang lingkup masih mencakup pembagian 15 tersebut, walaupun ada kemungkinan akan ada pemekaran subsektor ataupun penggantian redaksional nama karena kedinamisan lapangan, misalnya kemungkinan munculnya subsektor animasi, subsektor film, subsektor video, subsektor fotografi, subsektor penerbitan.

Nah untuk agenda yang diselenggarakan oleh Indonesia Kreatif serta Kemenparekraf di tiga pekan kemarin, terdapat pembagian ruang lingkup sehingga tiap pekan ada beberapa subsektor yang diulas. Untuk pekan pertama kebtulan berhalangan hadir sehingga kita bongkar dulu yang pekan kedua dan pekan ketiga sebagai awal dari post ini. Eh tapi nih tapi, apa yang menjadi "hidangan" di pekan kedua akan diulas di esok hari. Kali ini yuk kita "sarapan" yang menjadi orbolan di pekan ketiga Share n Case Ekonomi Kreatif Indonesia. hehee ,V,,

Sesi Satu langsung digebrak berbagai inspirasi

Berikutnya di pekan ketiga tersedia sajian ngabuburit berupa subsektor teknologi informasi, permainan interaktif, dan animasi pada sesi 1 serta desain, arsitektur, plus riset dan pengembangan di sesi 2. Sesi pertama menghadirkan Dien Wong (CEO Altermyth), Alvin Kizam (CEO MyPicMix), Achmad Rofiq (CEO Digital Global Maxinema), Ahmad Djuhara (ex-Chairman IAI), Hastjarjo B (Founder @FDGI_Forum), serta Cokorda Istri Dewi (Kementerian Pariwisata dan Ekonomi Kreatif).

Animasi merupakan hal yang masih dianggap mewah dan eksklusif karena memang bukan hal mudah untuk menciptakan karya animasi yang berkualitas. Namun justru di sini ditemukan paradoks karena belum ada perguruan tinggi yang membuka program studi atau jurusan yang memang fokus di bidang animasi dari awal, yang ada saat ini adalah kejuruan di dalam sebuah jurusan/program studi bidang komputer maupun desain. Dengan demikian, kunci pengembangan animasi saat ini masih bertumpu pada kekuatan komunitas sebagai wadah penghasil animator-animator baru. Banyaknya komunitas di satu menunjukkan gairah yang positif dari masyarakat, namun di sisi lain akan menjadi PR ketika keberadaannya yang banyak tidak diikuti pertumbuhan karya berkualitas. Kecenderungan animasi saat ini juga masih bersifat reaktif terhadap apa yang menjadi trend di masyarakat, belum terjadi inisiatif untuk emnghasilkan karya yang bersifat inisiatif.

Ada sebuah kisah unik yang kita alami sendiri tentang bagaimana animasi ternyata berperan sebagai "ambassador" sebuah negara. Coba kita ingat-ingat lagi apa yang mengawali kita mengenal negara Jepang, ternyata bukan J-league, mobil Mits*ubis*hi, namun gempuran film kartun macam Pokemon, Digimon dll. Dari perkenalan inilah (yang terjadi saat kita kecil), kita mulai terdogma bahwa Jepang merupakan negara yang kreatif. Ujung-ujunya industri lain di Jepang mengalami dampak dimana lebih mudah menggaet orang luar Jepang untuk berinvestasi.

Ke depannya, pembenahan subsektor animasi jelas menjadi sasaran yang ditargetkan di dalam Cetak Biru Ekonomi Kreatif Indonesia 2015-2019. Sinergitas antarkomunitas dan juga pemerintah merupakan hal yang wajib dilakukan sehingga apa yang menjadi kebutuhan pengembangan dapat diakomodasi oleh pemerintah, sedangkan peningkatan kualitas yang menjadi karya mereka pun dapat mudah diarahkan.

Kondisi yang 11-12 juga didapati di subsektor pemainan interaktif (kita singkat "maintif" ya..hehee). Malah, sebuah nasehat bijak dilontarkan Dien Wong, yaitu "Jangna hanay mengandalkan belas kasihan 'ini produk lokal karya anak bangsa', tingkatkan juga kualitasnya". Yups, saya sepakat dengan beliau. Jangan smapai kita mengemis pada bangsa sendiri lantaran karya kita masih jauh tertinggal kualitasnya, apalagi jika mau go international, rayuan 'nasionalisme' tentu tidak mempan. Pemikian objektif yang sepintas keras, tapi betul juga sih. Kondisi game saat ini memang sangat dipengaruhi iklim platform termpat dijalankannya (karena itulah disatusesikan dengna teknologi informasi). Sebagai catatan, karya permainan interaktif saat ini didominasi wujud gaib, macam Battle of Surabaya. Dengan demikian agar masyarakat dapat memeprgunakannya maka karya-karya tersebut harus menyesuaikan device apa yang digunakan oleh masyarakat. Apakah yang menjadi trend device saat ini akan terus bertahan sekian tahun ke depan, atau bahkan sekian bulan ke depan? Belum tentu. Itulah tantangan industri maintif saat ini. Belum lagi proses pemasarannya yang masih didominasi metode "upload and wait", maksudnya unggah ke Playstore dan berharap di=download. Padahal dalam satu berapa ada berapa produk kompetitor yang akan menjadi lawan senggol-senggolan menarik hati konsumen.

Ngomong-ngomong metode "upload and wait" tentunya berkaitan erat dengan subsektor teknologi informasi (kebetulan ini subsektor favorit saya, ya iyalahhhh). Fenomena luar biasa juga terjadi di subsektor ini yang erat kaitannya dnegan kondisi di subsktor maintif. Pertama-tama sudah barang lumrah ketika kita menjumpai berbagai startup yang fokus paa bidang IT, ada yang memroduksi sistem informasi kesehatan, panduan keagamaan, hingga permainan interaktif (aplikasi ekstrak manggis nggak saya masukan list :p). Jumlahnya sangat menjamur dan kondisinya kebanyakan pun seperti jamur. Sebagian besar startup saat ini didasarkan pada idealisme mentah yang berbekal niat dan semangat plus kelihaian membuat produknya. memang tiga hal itu penting, namun kompetensi manajerial, khususnya pemasaran menjadi PR sering tidak dikerjakan oleh para pemain startup tersebut. Konsep bagaimana menggaet pemasukan dan mengontrol pengeluarann masih perlu dimatangkan. Problema besarnya, masyarakat Indonesia gemar yang gratis sehingga agak runyam ketika membuat produk berbayar dengan segmen masyarat kit asendiri, apa mau mereka "beli"? Kasus yang pernah secara pribadi saya temui adalah sebuah game developer asal Bandung yang memilih menyasar segmen negara Timur Tengah karena jaminan pembayarannya lebih aman dan bersedia mempergunakan CC. Di Indonesia CC ataupun PayPal masih menjadi barang mewah, sehingga kemungkinan lakunya pun mengecil.

Tantangan di subsektor teknologi informasi juga ada yang bersifat unik, yaitu lulusan perguruan tinggi yang bersifat generalis, bukan spesialis sehingga menjadi kesulitan untuk mendalami sebuah permasalahan yang kerap terjadi di dalam dunia kerja.

Walau banyak tantangan, ternyata subsektor teknologi informasi menyimpan potensi yang terlalu sayang untuk diabaikan. Kuncinya terletak pada bagaimana perencanaan di sisi manajerial agar produk dapat menggapai masyarakat yang menjadi sasaran. Hal ini berujung pada bagaimana mengatur strategi agar pemasukan dapat diperoleh dengan meminimalisasi pengeluaran. Indonesia sendiri tercatat secara statistik sebagai pengguna komputer yang cukup tinggi, ini potensi yang jangna pernah diabaikan. Investor mana yang tidak tergiur yang potensi ini. Contoh kerja sama yang perlu dilakukan adalah kerja sama dnegan provider selular untuk memromosikan aplikasi lokal Indonesia yang memiliki kualitas, jangna hanya menyebut social media luar negeri sebagai jualannya.

Kisah unik ditemukan pada MyPicMix yang menyembunyikan identitas asal negara untuk menlihat objektivitas respon masyarakat Indonesia dan dunia. Dan 7 bulan setelah dirilis barulah orang-orang tahu dan tentunya kaget karena tidak menyangka  aplikasi sebagus ini ternyata lahir dari kerja keras dan rkeativitas orang Indonesia.

Subsektor arsitek menjadi pengebrak di sesi kedua dimana sebuah kenyataan yang harus diakui bahwa orientasi pembuatan berbagai bangunan saat ini lebih fokus pada kekokohan material (dan juga tentunya anggaran), sedangkan nilai estetika dan seni arsitektur kerap dilupakan. Padahal alasan kit amengunjungi Taj Mahal, Menara Eiffel, SPinx, Candi Borobudur tentu bukan faktor kekokohan bangunan sebagai motif utamanya. Prioritas nomor satu tentu kreativitas arsitekturnya. Malah kerap ditemui kasus pembangunan fasilitas umum yang memrioritaskan murahnya anggaran sebagai penentu siapa pemenang tender. Padahal arsitektur yang menawan (dan tentunya memerhatikan kebutuhan penggunanya) justru akan bernilai "lebih" secara ekonomi.

Ternyata masalah apresiasi juga ditemui di subsektor desain, termasuk kasus tender itu tadi. Hal ini memang dapat (sebenarnya sih kurang) dimaklumi karena pembuatna proposal tender ikut mempertimbangkan nilai kontrak dimana ketika lebih murah maka prioritasnya lebih besar dipilih karena faktor efisiensi dana. Namun asumsi tersebut hanya cocok ketika membicarakan produk berwujud, misalnya jumlah jumlah kursi, seragam dll, nah kalau desain poster, coding, aplikasi dll? Susah pisan ieu..

Maka sasaran pengembangan subsektor arsitektur meliputi beberapa rencana berikut:

  • Penilaian dan evaluasi kualitas jurusan/program studi Arsitektur di Indonesia
  • Meningkatkan mutu jurusan/program studi Arsitektur melalui pendampingan dan transfer pengetahuan 
  • Membuka jurusan/program studi Arsitektur Lanskap di luar pulau Jawa
  • Mengupayakan pengesahan Undang-Undang Arsitek
  • Pengeluaran lisensi pelaku teknis bangunan di semua daerah
  • Penguatan legitimasi Sertifikat Keahlian/SKKNI
  • Pengutamaan pelaku industri arsitektur nasional dalam pembangunan nasional
  • Perbaikan sistem pengadaan proyek pemerintah
  • Kolaborasi bersama duta besar untuk promosi arsitektur lintas negara
  • Pengikutsertaan orang kreatif unggulan Industri Arsitektur nasional ke ajang-ajang Arsitektur Internasional 


Di subsektor desain sendiri tenyata menemui kasus penjamuran sebagaimana di subsektor teknologi informasi yang yang menjamur adalah jumlah perguruan tinggi yang membuka jurusan/program studi seperti desain komunikasi visual. Jumlah meningkat, bagaimana dengan kualitas, ternyata masih perlu "link and match" antara kurikulum yang diajarkan dengan kebutuhan dunia kerja. Di dalam rencana pengembangan subsektor desain sebagaimana ditargetkan pada Cetak Biru Ekonomi Kreatif Indonesia 2015-2019 terdapat direncanakan:

  • Pembentukan Indonesia Design Center sebagai integrator antara pemerintah pusat - daerah, industri - dunia usaha dan perguruan tinggi - lembaga riset dan komunitas - asosiasi desain (Quadro Helix) serta sebagai National Branding, Etalase Kegiatan Desain, Klinik, Training, Apprentice, Convention, Direktori, Digital & Material Library, Event, Network & Promotion Center
  • Pembentukan Dewan Desain Nasional
  • Penguatan Asosiasi Profesi Desainer
  • Penataan Klasifikasi Baku Lapangan Usaha Indonesia untuk produk dan jasa desain, lebih rinci dan sistematis 


Subsektor riset dan pengembangan lebih bersifat baseline yang memotori analisis umum ekonomi kreatif. Dengan demikian mutlak diperlukan riset untuk mengetahui "mau dibawa kemana" ekonomi kreatif di Indonesia. Momen saat ini sedang strategis, orang semakin menyadari potensi dan juga keasyikan di dalamnya. Berawal dari kepensaranan apa itu ekonomi kreatif? Apa bedanya dengan ekonomi pada umumnya dll, kini orang sudah berani mengungkapkan harapan/ekspektasinya di masingpmasing subsektor. Tak cukup di situ, banyak orang yang berani terjun di dalamnya. Sebagaimana diuraikan pada handout yang saya peroleh, program Pengembangan Penelitian dan Pengembangan untuk Industri Kreatif terdiri atas dua hal:

  • Peningkatan kolaborasi antara lembaga peneliti dan industri dalam memetakan kebutuhan penelitian dan pengembangan terkait dengan bidang bidang dalam industri kreatif.
  • Penguatan “pondasi” dan “pilar” yaitu sumber daya manusia, industri, sumber daya non manusia, pembiayaan, pemasaran dan teknologi yang dapat mendukung kegiatan penelitian dan pengembangan terkait bidang bidang dalam industri kreatif.


Lantas apa pula yang mendasari agenda Share and Care ini?
Pasar bebas sudah tidak bisa dibendung, bahkan silakan tengok kamar maisng-masing, karya kreatif apa yang tidak diimpor? Tentu kita tidak ingin Bangsa Indonesia hanya sebagai konsumen. Kita punya potensi di ekonomi kreatif. Kita punya daya saing. Dan pastinya kita KREATIF.

No Response to "Share n Care EK Pekan Ketiga"