Share n Care EK Pekan 2 (bagian 1)

Nah jika sebelumnya yang dikupas itu Share n Care Ekonomi Kreatif pada pekan ketiga, maka berikut ulasan (walau masih terlalu ringkas ,V,,) tentang obrolan di pekan kedua. Ruang lingkup pada kesempatan ini adalah subsektor musik, kerajinan, seni rupa, seni pertunjukkan, mode, serta kuliner. Nah yang terakhir agaknya sedap nih...Ngabuburit sambil mbahas kuliner? Kayaknya sih iya, padahal ya iya...

Dimulai dari mana ya? Mmmm, OK let's stand on the  Kuliner Side yang menghadirkan Pakdhe Maknyus, Bondan Winarno, Winarno lho ya...bukan Prakoso, kalo Prakoso ntar malah mainan bass. Sebuah kritik positif dilontarkannya mengenai data statistik tentang jumlah usaha, jumlah tenaga kerja, hingga kontribusi nominal rupiah di dalam ekonomi kreatif yang berkaitan dengna subsektor kuliner yang menurut beliau perlu ditingkatkan keakuratannya karena kenyataannya di lapangan sudah tentu melebihi angka-angka di tabel statistik. Selain itu, beliau juga mengungkapkan keheranannya mengapa tidak ada stupun kota di Indonesia yang ditetapkan oleh Kota Gastronomi di dunia oleh PBB. Padahal banyak ktoa di Indonesia yang memiliki kuliner khas yang snagat spesial, bahkan menurutnya bisa lebih dari 10 kota, misalnya Semarang, Bandung, Palembang, Makassar, Denpasar, Padang, Medan, Banda Aceh, Surabaya, Yogyakarta, Manado dll. Dan memang benar yang diujarkannya ini. Menurut saya sendiri, pengakuan internasional mau tidak mau terkait tingkat popularitas di mata dunia dan popularitas demikian akan erat kaitannya dengan pariwisata dan harus diakui kota di Indonesia yang dikenal dunia karena wisatanya masih berkutat di Denpasar (atua bisa juga disebut Bali karena satu paket provinsi) serta Yogyakarta. Barangkali yang perlu dibenahi ke depannya adalah bagaimana kolaborasi ekonomi kreatif subsektor kuliner dipadukan dengan sektor pariwisata.

Selain itu, kelemahan yang mendasar di dalam subsektor kuliner adalah masih kurangnya literatur berkualitas sebagai khasanah yang membngun kompetensi para pelaku di dalamnya. Jika boleh jujur, di beberapa masa lalu, kuliner kerap dipandang sebelah mata dengna reputasi hanya sebagai profesi yang berorientasi pada finansial. Namun belakangan ini, kuliner menjadi area yang menarik untuk dieksplorasi karena mampu menunjukkan potensi sebagai sarana berkreatif dan memberikan banyak nilai lebih yang tidak sekedar nominal, misalnya sebagai konten kepariwisataan hingga konten dunia hiburan. Hal ini juga didukung dengan makin menjamurnya berbagai event kuliner yang mengakomodasi kebutuhan masyarakat sebagia konsumen serta produsen. Walau demikian, ada PR besar yang memerlukan perhatian besar juga, yaitu bagaimana apresiasi yang layak berupa penghargaan khusus di subsektor kuliner yang mampu memacu kreativitas pelakunya.

Sementara itu, terkait subsektor mode, perlu diketahui bahwa terdapat klasifikasi mengenai produk mode

  • Kelas made to order, meliputi high fashion, tailor made, dan uniform
  • Kelas ready to wear, meliputi deluxe dan mass product.

Secara kuantitas, produk mode di Indonesia didominasi kelas ready to wear, khususnya mass product, sehingga pembuatan sifatnya bersifat kontinu tanpa kebergantungan terhadap seberapa banyak pesanan konsumen.

Saat yang yang menjadi program pengembangan terbagi ke dalam 3 tahap sebagai berikut ini:

  1. Segi pendidikan subsektor mode masih harus diperbaiki, terutama untuk kualitas kurikulum pendidikan formal dan non-formal serta para tenaga pengajar, sehingga dapat menghasilkan value creation dalam industri kreatifnya.
  2. Peningkatan brand equity para pelaku mode yang juga menghasilkan turunan produknya agar dapat bertahan dalam roda bisnis, sekaligus penguatan jiwa entrepreneurship pelaku mode tersebut.
  3. Perbaikan saluran distribusi industri kreatif mode yang terkait dengan bahan baku, produksi, promosi, pemasaran dan penjualan sehingga dapat mempersingkat proses supply chain-nya.


Di dunia mode Indonesia sendiri beberapa isu strategis yang menjadi perbincangan di dalam Share n Care ini, antara lain:

  • Kualitas dan kuantitas pengajar masih kurang dan belum mengenyam pendidikan mode dalam tingkatan yang lebih tinggi. 
  • Kurikulum pendidikan mode masih lebih banyak menekankan kepada aspek teori, dibanding praktek dan pengembangan bisnisnya.
  • Kekurangan tenaga Sumber Daya Manusia (SDM) yang berkualitas dan memiliki keahlian khusus secara teknis, sehingga menyebabkan terhambatnya proses produksi di industri. Hal ini juga terkait dengan daya saing yang rendah dari para SDM tersebut dalam menyambut AFTA.
  • Belum adanya pusat arsip dan pusat kajian perkembangan mode Indonesia yang representatif, sehingga berakibat pada minimnya ketersediaan arsip, buku dan dokumentasi mengenai dunia mode tersebut.
  • Penelitian terkait sumber daya budaya untuk produk mode di Indonesia dinilai masih sedikit.
  • Jiwa ketahanan entrepreneurship wirausaha di subsektor mode dinilai masih rendah.
  • Keragaman karya pelaku kreatif mode Indonesia sudah mulai banyak dan diminati oleh pecinta mode di dalam dan luar negeri.
  • Kualitas karya kreatif lokal dinilai masih kurang, akibat belum adanya standardisasi terutama dalam penentuan ukuran  dan pengendali mutu.
  • Lembaga pembiayaan (mis: bank atau non-bank) kebanyakan masih membutuhkan jaminan yang tangible, seperti: ijazah, sertifikat, emas, dan lainnya, yang belum bisa dipenuhi oleh para pelaku usaha subsektor mode.
  • Industri penunjang infrastruktur masih lemah karena belum adanya pemahaman terintegrasi yang mendukung perkembangan subsektor mode.
  • Minimnya pengumpulan data statistik modern mengenai keseluruhan aspek dalam industri kreatif mode, yang diperlukan untuk mengetahui perkembangannya.
  • Lemahnya regulasi mengenai penataan saluran distribusi dan penjualan untuk produk mode sesuai dengan koridor masing-masing, misalnya factory outlet, toko kecil, pasar tradisional, wholesaler, toko ritel besar (supermarket, department store atau hypermarket), dan pameran.
  • Permendag 70 untuk mendukung distribusi produk lokal dinilai masih berat oleh pengusaha ritel modern, karena tetap didukung oleh regulasi masuknya produk impor.
  • Para pelaku usaha subsektor mode yang belum paham mengenai regulasi pembuatan HKI dan menilai bahwa prosedurnya masih berbelit-belit disertai anggapan biaya pengurusannya mahal.
  • Jumlah organisasi dan komunitas untuk mengumpulkan aspirasi para pelaku kreatif mode sudah cukup banyak. 


Ada yang menarik di subsektor musik. Robin Malau dalam paparannya "Musik Indonesia untuk Semua", mengungkapkan 6 tantangan di subsektor musik saat ini, yaitu sumber daya, iklim usaha, pembiayaan, wirausaha kreatif, teknologi, dan perluasan pasar. Beliau juga memaparkan kunjungannya ke Inggris beberapa waktu lalu dimana dia menemukan beberapa fenomena sebagai berikut:

  1. Community Building, di Roundhouse, musisi aspiratif muda berumur 11-25 tahun (sumber daya) diberi pengalaman pra-karir dan bimbingan untuk berinovasi dalam bermusik (wirausaha kreatif).
  2. Showcase, The Great Escape festival & conference, adalah tempat musisi baru mempertunjukkan musiknya. Pendatang tidak hanya penggemar, tapi juga label, distributor, booking agency (perluasan pasar) dan investor(pembiayaan) dari seluruh penjuru dunia.
  3. Collaboration, di Tileyard Studios, pengusaha musik berkolaborasi dan menciptakan lingkungan yang mendukung menciptakan iklim usahakolaboratif dan berbagi teknologi. 


Coba dihitung, masih ada 3 subsektor yang belum saya ulas di sini. Bentar ya...kerja dulu hehee

No Response to "Share n Care EK Pekan 2 (bagian 1)"