Keberanian yang Terencana

Era saat ini dimana pemikiran Eropa menjadi poros tentu perayaan tahun baru dianggap hal yang sangat wajar. Saking latahnya, terkadang masyarakat Indonesia pun sudah mulai menjadikan perayaan tahun baru sebagai ritual yang wajib dimeriahkan dengan berbagai agenda. Tiup terompet dengan berbagai pletak-pletuk mercon merupakan rutinitas yang jika kita tidak ikut malah dianggap nggak gahol. Setidaknya pengalaman merantau di Jakarta dan Bandung membuktikan hal tersebut. Bahkan pernah suatu ketika saya yang kebetulan sedang di pinggir Kota Bandung malah menyaksikan Kota Bandung nampak berawan persis di detik-detik pergantian tahun baru. Awan ini bukan awan yang menumpahkan hujan, namun setumpuk asap hasil ledakan mercon.

Nah, iseng-iseng membaca berbagai berita malah nemu beberapa artikel menarik tentang instruksi untuk meniadakan segala hal yang berkaitan dengan selebrasi tahun baru di Kota Banda Aceh. Jelas fenomena yang janggal jika dibandingkan dengan berbagai kota besar lain di Indonesia. Namun jika saya ingat-ingat belum pernah mendengar liputan di televisi mengenai perayaan tahun baru di Banda Aceh. Biasanya di televisi saat memasuki jam 10 malam WIB akan ada liputan detik-detik tahun baru di daerah WIT yang sudah memasuki jam 12 malam WIT seperti di Jayapura. Kemudian ketika jam 11 malam WIB maka giliran daerah WITA yang telah memasuki jam 12 malam WITA bergiliran diliput, terutama pusat keramaian di Pulau Bali. Sedangkan ketika menjelang jam 12 malam WIB maka liputannya tentu Jakarta, kalaupun ada liputan kota lain maka tentunya Bandung. Tidak pernah mendengar liputan mengenai semarak tahun baru di daerah Sumatera, khususnya Banda Aceh.

Ternyata memang penerapan syariah yang konsisten juga diwujudkan dengan meniadakan perayaan tahun baru mashehi. Lho bisa ya emangnya? Bagaimana caranya? Jujur saja ketika membaca artikel-artikel berikut ini agak sulit membayangkannya dan memang kesulitan itu karena terbiasa hidup di Jakarta dan Bandung yang sudah terinvasi kultur kebaratan.



Bagi masyarakat Aceh, hal tersebut mampu dijalankan karena kerja sama antarpihak yang sudah sepemahaman dan juga budaya Islam yang sudah terbangun dari lama. Aturan meniadakan selebrasi tahun baru jelas sulit diwujudkan jika dilakukan secara tiba-tiba dan tidak didukung lingkungan. Yups, lingkungan yang religi dimana (menurut cerita dari beberapa teman asal Aceh) tidak ada diskotik, bar, dan sejenisnya, bahkan bioskop pun sudah punah. Interaksi antarjenis pun cenderung dibatasi untuk menghindari fitnah dan khalwat.

Artinya komitmen untuk menerapkan suatu kebijakan akan lebih bisa diterima masyarakat jika direncanakan sejak lama dan didukung lingkungan yang budayanya seirama. Salut dengan keberanian yang terencana ini. :)

No Response to "Keberanian yang Terencana"