(re)Branding Terminal, hmmmm

Apa yang ada di benak Kawan ketika mendengar kata terminal?
Seram, tidak ada yang bisa dipercaya, kotor, lelet
Wah mungkin (atau malah pasti) yang timbul adalah kosakata-kosakata yang bermakna negatif. Kira-kira kita yang terlalu berlebihan atau gimana ya? Rasanya tidak karena memang begitulah kenyataannya. Kita menganggap terminal adalah tempat yang seram dengan berbagai kasus kriminal, pencopetlah, tukang palaklah, calolah dan masih banyak lagi. Keberadaan orang-orang yang (secara subjektifnya kita) dianggap kurang baik itulah yang menjadikan terminal sebagai tempat yang sulit dipercaya. Banyak orang memilih berlapar dan kehausan daripada mengonsumsi sajian di terminal. Takut sudah kadaluarsa, khawatir berformalin, riskan sudah membasi dan ah entahlah. Mungkin terkait juga kesan kotor. Jika bukan kepepet, ornag pun memilih menahan kebelet ketimbang pipis di toilet terminal.
<br>
Bukan hal yang mudah untuk mengubah kesan-kesan tadi. Boleh jadi kita membandingkannya dengan kondisi stasiun yang mulai sukses menanggalkan kesan kumuh menjadi elegan. Namun jangan lupa bahwa waktu yang diperlukan PT KAI beserta pemangku kepentingan terkait sangat lama, mulai dari pewacanaan, perancangan strategi, hingga penerapan dan tentunya pengawasan. Jangan lupa pula bahwa jumlah stasiun di Indonesia yang relatif sedikit dibandingkan terminal. Walau demikian, tidak alasan untuk membiarkan terminal suasananya stagnan seperti itu.
<br>
Permasalahan pangkal terletak pada dua kata kunci, yaitu kebersihan dan keamanan. Dua kata kunci ini merupakan faktor yang dibutuhkan kualitasnya oleh masyarakat. Konsistensi, pengawasan, dan kepedulian juga patut dimunculkan untuk melahirkan kebersihan dan keamanan. Bukan rahasia bahwa banyak oknum yang (sok) menjadi mafia dengan berbagai pungutan liar dan pengomersilan segala layanan. Ketika memasuki terminal kita kerap dikerubuti oleh orang yang kemudian menggiring kita ke sebuah bus. Tentu bukan jasa yang gratis dan snagat menggerogoti kenyamanan. Kadang ketika kita menolak dan menghindari justru umpatan yang dilontarkan. Ngeselin memang, namun yaudah sih, nggak ada manfaatnya juga diladenin. Calo juga menjadi aktor yang suit diberantas karena jaringannya yang sudah terlalu kuat.
<br>
Dalam beberapa kasus tertentu kita sering menyaksikan kerumunan calon penumpang di luar terminal. Ternyata kerumuman ini merupakan penumpang yang lebih memilih tempat duduk sisa, atau bahkan lebih ihlas berdiri, asalkan kita ikut menjadi korban percaloan. Maka tidak heran Pasar Rebo menjadi terminal tidak formal karena ya gitulah... Butuh keberanian untuk memangkas adanya oknum-oknum nakal di terminal. Jaringan yang solid menjadikan mereka masih bisa lestari dan mengkader oknum-oknum baru.

No Response to "(re)Branding Terminal, hmmmm"