Tentang Jakarta II

Aku masih termagut di perantauan jilid 2. Menjalani bergulirnya tiap pekan di dua kubu, Kota Bandung dan Jakarta. Belum ada benderangnya kompas ke barat laut ataukah tenggara. Ibarat device yang punya 'default' maka ransel ini akan tergeletak di tenggara yang biru. Maka aku perlu memangkas pagar tenda ini? Setidaknya pasak dan bivak senantiasa tergantung rapi di pinggir ranselku.

Tak banyak gemerlap langit yang kutatapi belakangan ini. Fokus langkah hanya ada pada peta yang kutandai semenjak kami berkomitmen. Tentunya hanya Allah berhak menentukan kepastian hari esok, lusa, dan seterusnya. Itu hak prerogatif-Nya. Kewajiban prerogatif kita sudah dibaitkan dalam segala sabda-Nya, yaitu ikhtiar.

Aku tetap memegang prinsip untuk tidak melirik kepulan asap di luar stadion saat rumput hijau masih kujejaki. Peluit belum ditiupkan, maka segala riang capaian belum pantas dirayakan. Peluh masih layak dideraikan di sini.

Hingga aku bisa membuktikan bahwa segala garis-Nya ialah yang terbaik. Dan pun patut membuktikan sendiri ikhtiarku memang layak sebagai ibadah bagi-Nya.

No Response to "Tentang Jakarta II"