Karate yang sedang Dibicarakan

Belakangan cabang olahraga ini dibicarakan oleh orang banyak. Ya, karate memang tengah menuai status sebagai topik nomor dua di Indonesia. Hehee, no.1 kan masih sepakbola gegara AFF. Kenapa sih dengan karate?

Insiden didiskualifikasinya salah seorang peserta turnamen Karate ditengarai sebagai penyebabnya lantaran yang bersangkuran tidak berkenan mengganti kerudungnya dengan yang sudah menjadi standarnya. Bukan isu yang baik lantaran muncul di saat isu SARA sedang sensitif untuk dibahas, apalagi jika dilempar di media sosial dimana 'yang dibaca setengah, yang dipahami seperempat, yang disebar dua kali lipat'. Kecaman terhadap panitia pun bermunculan hingga beberapa petinggi federasi pun ikut angkat bicara. Sebagai mantan anggota Karate, baik di SMP, SMA, maupun perguruan tinggi, saya merasa risih karena banyak pemelintiran mengenai kronologis serta kesan bahwa Karate diskriminasi.

Singkat cerita, Karate merupakan olahraga yang sifatnya 'impor' dari Jepang, sebagaimana sepakbola dari Eropa. Maka, adopsinya pun tentu menilik bagaimana budaya tradisional yang terjadi di Jepang. Karate sendiri sudah mendunia dengan banyak negara yang memiliki federasi resmi serta adanyak feredasi internasional resminya, yaitu World Karate Federation. Kondisi kedua ini tentu menyebabkan standar permainan Karate mengacu pada budaya yang berlaku di pergaulan internasional. Dalam hal ini, beberapa pertandingan Karate harus mereduksi beberapa aturan tradisionalnya, sebagai contoh penggunaan pengaman yang tidak ada pada Karate yang 'tradisional'. Jadi asal usul serta proses globalisasi Karate sendiri memang tidak memihak ke salah satu agama. Maka, wajar jika penerapannya pun memungkinkan adanya pertentangan dengan adab agama tertentu. Dalam hal ini, WKF sendiri sudah menyadari adanya protes dari sejumlah negara, terutama di Timur Tengah mengenai larangan memakai jilbab lantaran belum diakui di aturan seragam. Kini, WKF sudah mengizinkan hanya saja standar jilbab yang diizinkan memang masih memicu perdebatan.

Di Indonesia sendiri, aturan bersifat lebih longgar. Hal yang lumrah mengingat secara umum, masyarakat Indonesia memang berkarakter mudah bertoleransi. Lebih spesifik, Islam adalah mayoritas agama yang dianut. Maka, sejumlah dojo ataupun klub menerapkan kelonggaran terkait busana khusus untuk muslimah, termasuk pula dalam memilih lawan tanding yang gendernya harus sama-sama perempuan. Kelonggaran ini sendiri saya temui di dojo saat SMP, SMA, serta perguruan tinggi. Kebetulan memang di tiga institusi pendidikan tersebut kultur kesiswaan/kemahasiswaannya memang cenderung religi kuat, maka sangat wajar jika budaya tersebut memengaruhi kebijakan pengurus serta pelatih/senpai. Barangkali kasus demikian mungkin saja terjadi di dojo/klub lain, bisa jadi pula tidak. Pun dengan cabang olahraga lain, seperti penggunaan celana panjang saat futsal.

Saya sendiri berpendapat bahwa regulasi Karate, termasuk dalam konteks pertandingan perlu memahami dan menyesuaikan budaya lokal/setempat. Toh hal-hal yang sifatnya prinsip atau filosofis tidak hilang begitu saja saat adaptasi ini kan. Khusus jika bicara turnamen, jika memang tidak arah jenjang  ke nasional atau bahkan internasional, mengapa harus 'ngeyel' ke regulasi yang terlalu kaku namun mencederai situasi lokal, terlebih yang terkait keyakinan. Kaitannya dengan menyesuaikan pun juga harus mempertimbangkan faktor kesehatan karena Karate ini punya dimensi sebagai olahraga. Sebagai contoh, jilbab yang dipakai seorang karateka perempuan harus memungkinkan wasit dan juri mengetahui apakah ybs cedera di telinga atau tidak. Maka, umat Islam pun tidak bisa hanya pasif mengajukan pendapat. Umat Islam perlu turut andil dalam membentuk ekosistem Karate yang 'bersahabat' bagi agama apapun, termasuk Islam.

Jika saat ini regulasinya belum pas, terutama di konteks internasional, maka silakan pilih dennga bijak sesuai keyakinan. Pada hakikatnya, Karare tidak mengungguli prioritas agama.

No Response to "Karate yang sedang Dibicarakan"