Menuju Gerbang S3

S3 itu  memang didominasi "intervensi" Allah. Dari observasi sejauh ini, S3 alias doktoral alias Ph.D. merupakan lajur yang sangat 'sakral' dengan nuansa yang menimbulkan pertanyaan, apakah saya bisa. Sebagai gambaran, di prodi S3 Ilmu Komputer UI belum genap 100 orang doktor yang mampu 'diproduksi'. Apakah ini pertanda ekosistemnya sangar. Pun dengan pesan kenalan doktor asal Malaysia yang berbisik, 'kata supervisor saya dulu, kuncinya PhD itu satu, tahajud'. Wallahualam atas subjektivitas penilaian tersebut. Sejauh ini saya hanya bisa mengobservasi bapak/ibu/kakak senior yang sedang menjalaninya. 

Jenjang S3 dari sudut pandang manapun tentu berbeda dengan S2, apalagi S3. Dari sisi usia, mahasiswa S3 didominasi Up-24, ingat itu 'Up', bukan 'U' sebagaimana U-19, U-23. Usia di atas 24 karena dengan usia lulus SMA 18 tahun, masa studi normal S1 4 tahun serta S2 2 tahun, artinya rata-rata seseorang paling cepat memulai studi S3 adalah saat menjelang 25 tahun. Tentu kasus seperti Emil Dardak relatif jarang. Usia 25 sudah jelas apa yang menjadi aktivitas rutinnya. Bekerja di instansi tertentu ataupun wiraswasta, bahkan mungkin mengelola rumah tangga. Artinya konsentrasinya tidak sekedar studi belaka. Di sini tapak jelas bahwa manajemen waktu merupakan modal yang berharga dalam memasuki gerbang serta mengarugi petualangan di belantara S3.

Saya sendiri memang mulai menjajaki kemungkinan yag lebih serius terkait per-S3-an. Faktor pendorong ada dua dan sungguh menghitung waktu tekanannya pada saya. Pertama jenjang S3 sudah mulai dijadikan syarat bagi yang ingin permanen di dunia perdosenan ataupun peneliti. Kedua adalah kebutuhan untuk mengembangkan kemampuan diri dengan cara yang terpadu dan formal.

Untuk menuju gerbang S3, banyak yang perlu saya siapkan. 'menuju gerbang'-nya lho, belum mengarunginya hehee. Pertama untuk menjawab, 'mau dimana' karena pertanyaan ini ibarat nanya ke mantan 'kenapa kita dulu putus' alias bakal panjaaaaaang ulasan dan pertanyaan lanjutannya. Saya perlu mencari dan memilah kampus mana yang sesuai. Sesuai di sini pun kriterianya panjang, mulai dari program studi, topik riset, lokasi kampus, iklim dan budaya sosialnya, dan tidak lupa mekanisme pendanaannya bagaimana. Well, di balik poin pertama ini artinya banyak yang perlu saya siapkan. Belum lagi terkait cara saya dan keluarga saya bertahan hidup selama saya menjalani program doktoral. Jelas bukan perkara mudah, apalagi jika Allah menempatkan saya tidak di Indonesia. Inilah poin kedua yang tidak bisa disepelekan. Saya perlu berupaya agar istri dan anak saya tidak kelaparan selama saya mengerjakan penelitian doktoral saya. Opsi sebagai dosen luar biasa ataupun nge-proyek jelas tidak seleluasa saat ini. Ketiga, saya harus mematangkan rencana kehidupan saya jika saya, insyaAllah, lulus dari program S3. Terus terang kondisi ideal berbekal ijazah S1 dan S2 untuk berpuas diri mencari pekerjaan sambil wisuda tidak saya alami. Memang pada akhirnya Allah mengalokasikan takdir yang luar biasa pasca-lulus S1 dan S2, namun saya harus bisa meningkatkan upaya untuk mempersiapkannya lebih awal. Singkat cerita, saya harus punya gambaran matang, karir seperti apa yang saya bangun sebagai doktor nantinya.

Maka persiapkanlah sebaik dan sematang mungkin agar Allah menyuguhkan bingkisan terindah sebagai ganjaran atas kesungguhan kita.

No Response to "Menuju Gerbang S3"